Koran Tempo,
13 September 2009
13 September 2009
Afthonul Afif, Alumnus Psikologi Klinis Pascasarjana UGM Yogyakarta
Dalam perspektif awam, imajinasi masih
sering diposisikan dalam arti peyoratifnya.Imajinasi dianggap serupa dengan
ilusi, khayalan, dan fantasi. Salah persepsi ini berakibat pada masih kurang
dipertimbangkannya imajinasi sebagai sumber pengetahuan yang sahih.
Orang
sering mengajak kita untuk berpikir realistis ketika kita mengajukan gagasan
yang muluk-muluk. Mereka tidak menyadari bahwa anjuran mereka –sebagaimana
dikemukakan Allan Loy McGinnis dalam buku best seller-nya,The Power of Optimism (1993) sebenarnya bentuk
kekhawatiran-kekhawatiran yang disembunyikan. “Worry is misuse of imagination”(kekhawatiran
adalah imajinasi yang disalahgunakan).
Kekhawatiran itu, oleh Kierkegaard
dianggap sebagai sikap yang berlebihan dalam merespon bahaya, atau semacam sikap
memandang rendah kemampuan kita. Mengganggap imajinasi sejenis dengan khayalan,
fantasi, atau ilusi, merupakan sikap yang gegabah. Istilah fantasi itu sendiri
lebih berkaitan dengan daya membayangkan sesuatu hal yang tidak real atau yang
tidak mungkin terjadi.
Dengan demikian, fantasi sepadan dengan khayalan atau
ilusi, terjemahan dari bahasa Inggris, illusion. Secaraterminologis,
ilusi berarti
ide, keyakinan, atau kesan tentang sesuatu yang jelas-jelas keliru. Jika
fantasi (daya yang menghasilkan khayalan) berhubungan dengan gambaran objek
yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan, maka imajinasi
merupakan daya yang menghasilkan gambaran objek yang bersifat mungkin atau
logis.
Imajinasi tidak terkait dengan penggambaran yang membabi buta tentang
suatu objek atau konsep tertentu. Dalam bahasa inggris, ada beberapa variasi
kata untuk imajinasi, yaitu imagery, imaginary, dan imagine. Imagery merupakan
bahasa figuratif untuk merujuk sebuah gambaran, objek, ide, dalam pikiran
seseorang (pembaca atau pendengar), sehingga istilah ini sering digunakan oleh
para penyair dalam karya-karyanya. Imagery sering diartikan sebagai
perumpamaan/tamsil, meskipun ia memiliki arti yang lebih luas dari sekedar
perumpamaan.
Selanjutnya, imaginary dalam bahasa Indonesia sering
diartikan sebagai yang imajiner atau khayal; contohnya bilangan imajiner
sebagai bilangan khayal. Sementara kata imagine (kata kerja) berarti membentuk suatu
gambaran mental tentang sesuatu, atau memikirkan sesuatu sebagai bisa terjadi
atau mungkin. Imagine adalah tindakan membayangkan, meskipun
pada prakteknya terdapat perbedaan antara “membayangkan” dan “mengimajinasikan”.
“Membayangkan” mempunyai konotasi sebagai sesuatu yang lebih mudah dilakukan
karena berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan.
Sedangkan
“mengimajinasikan” itu merambah wilayah yang lebih luas sehingga tidak dapat
direduksi sebagai sekedar membayangkan. Maka dari itu, imajinasi lebih tepat
diartikan sebagai kekuatan potensial yang telah memberikan kontribusi berharga
bagi lahirnya pengetahuan.
Perlu diketahui perbedaan antara
berimajinasi dan berpikir (logis), lebih khusus terkait dengan proses lahirnya
pengetahuan. Berpikir merupakan aktivitas mental untuk melahirkan atau
memformulasikan pengetahuan dengan merujuk pada aturan berpikir atau konsep
tertentu yang cenderung bersifat membatasi, bahkan mengikat. Misalnya anjuran
berpikir lurus menurut logika identitas Aristotelian –di mana cara berpikir
yang tidak mematuhi hukum logika tersebut dapat terjatuh dalam “sesat pikir” (the fallacy).
Sementara dalam berimajinasi proses
mental kita tidak lagi diikat oleh hukum berpikir atau konsep kebenaran
tertentu, sehingga pikiran menjadi bebas untuk mencari wawasan pengetahuan
baru. Disadari atau tidak, peran imajinasi begitu besar dalam melahirkan
teori-teori agung di bidang ilmu pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah
kehabisan ide untuk memecahkan suatu permasalahan—karena logika telah
menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, terkadang imajinasi bebas mereka
justru yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan.
Bahkan ilmuwan sekaliber Einstein mengatakan, ”imajinasi lebih penting daripada
pengetahuan”.
Peran imajinasi dalam proses penelusuran pengetahuan membawa
banyak hal yang sering tak terduga. Meski berimajinasi tidak dibatasi oleh
hukum berpikir dan konsep tertentu, namun proses mental tetap terarah pada
citra atau imaji-imaji tertentu sebagai representasi dari persoalan yang sedang
dibayangkan. Ketika Einstein menemukan rumus E=mc2 , dia tentu meng-imaji-kan
variabel-variabel itu dalam pikirannya. Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori
gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, dia juga men-citra-kan
sesuatu dalam benaknya.
Dengan demikian, mengimajinasikan “imaji” merupakan
proses yang melahirkan kedua teori tersebut. Tentang kemampun melahirkan konsep
dari imaji-imaji yang dicecap, ada sebuah konsep menarik yang diperkenalkan
Sartre dalam bukunya L’imaginaire: Psychologie phenomenogique de
l’imagination (1940),
yaitu tentang “imajinasi kreatif”. Imajinasi kreatif ini terkait dengan
kemampuan pikiran seseorang untuk merasakan apa yang disebut Kant “pengalaman
estetik”. Ketika seseorang mampu menangkap makna dan menemukan seepisode cerita
dalam sebuah lukisan, atau merasakan emosi dalam selantun lagu yang tidak bisa
dirasakan oleh orang lain, maka orang itu memiliki imajinasi kreatif.
Dengan
kata lain, tidaklah disebut imajinatif jika melihat makna dan cerita dalam
sebuah lukisan yang juga bisa dilihat orang lain. Imajinasi kreatif ini disebut
Sartre sebagai “tindakan menciptakan sebuah objek dalam ketiadaannya”.
Hans George Gadamer,
dalam Philosophical Hermeneutics (1977) mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk hidup yang tumbuh dalam ruang sosial dan masa historis tertentu.
Citra tentang manusia dan lingkungannya selalu dibentuk dan direkayasa dalam
lembaran sejarah. Sehingga, tidaklah berlebihan jika Simone Weil menganggap
bahwa imajinasi dan fiksi telah membentuk lebih dari tiga perempat kehidupan
nyata manusia.
Pernyataan di atas hendak menegaskan bahwa pengetahuan yang kita
peroleh sebenarnya lahir dari imaji-imaji tentang segala hal yang telah kita
cecap, entah ia merujuk pada objek yang real ataupun yang imajiner. Imaji-imaji
yang memenuhi ruang mental kita itu menjadi semacam penyedia bahan baku bagi
kegiatan merumuskan pengetahuan.
Dalam konteks ini, antara imajinasi dan rasio
sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi
berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan
persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu
membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi benak kita yang
tidak dapat dikerjakan oleh rasio.
Ketika pola-pola tautologi itu telah eksis
dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai
evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang
dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio
membuat kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal. Imajinasi
juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai momen puitis (ingat
imajinasi kreatifnya Sartre).
Jika di ranah saintifik antara imajinasi dan
rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling
menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah
sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa
denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang
sangat berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai
basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata.
Di
ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya
lebih berpotensi memunculkan “ketidaktersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan
menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka
hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.